Dari Nyiur Melambai ke Samudra Nusantara: Bahasa Berdaulat, Pendidikan Bermutu, Generasi Cendekia Sulawesi Utara
Oleh : Valentino Julio Memah dan Nasyilla Awaliyah Adam
Bahasa, pendidikan, dan literasi merupakan pilar utama pembentukan jati diri sebuah bangsa. Di era globalisasi yang dinamis, ketiga aspek tersebut memiliki tantangan sekaligus kesempatan yang signifikan. Sulawesi Utara, dengan keberagaman bahasanya, memiliki potensi besar untuk mendemonstrasikan bagaimana bahasa Indonesia tetap berstatus sebagai bahasa negara tanpa mengesampingkan bahasa-bahasa lokal.
Keberagaman bahasa daerah sangat terasa di provinsi ini. Bahasa Bantik digunakan di Desa Bantik, Bolaang Mongondow, dan Kelurahan Buha, Manado. Masyarakat di wilayah Bolaang Mongondow, seperti Desa Ollot, menggunakan bahasa Bolaang Mongondow atau Bolmong. Bahasa Gorontalo dengan dialek Bolango dapat ditemukan di Kecamatan Bolaang Uki, Bolaang Mongondow Selatan. Bahasa Melayu juga cukup umum, terutama di Malalayang, Manado, dan wilayah-wilayah lain di Sulawesi. Bahasa Minahasa Tontemboan beserta variasinya banyak digunakan di Minahasa, Tomohon, dan Minahasa Selatan. Selain itu, terdapat bahasa Minahasa Tonsawang yang berkembang di Pontak dan Liandok, Minahasa Selatan, serta bahasa Minahasa Tonsea yang digunakan di Minahasa Utara, khususnya di Sukur, Matungkas, Kaweruan, dan Kaima. Bahasa Pasan digunakan di Liwutung dan Lobu, Minahasa Tenggara, sementara bahasa Ponosakan digunakan di Tababo, Belang. Lebih lanjut, bahasa Sangihe-Talaud banyak digunakan di kepulauan perbatasan Sulawesi Utara, meliputi Sangihe, Talaud, dan sebagian Bolaang Mongondow Utara.
Keberagaman bahasa daerah merupakan kekayaan budaya yang sangat berharga, namun bahasa Indonesia berperan sebagai penguat persatuan di tengah perbedaan tersebut. Kualitas pendidikan memegang peranan penting dalam melestarikan bahasa dan budaya, sementara kaum muda memiliki potensi besar untuk meningkatkan minat baca dan menghubungkan nilai-nilai tradisional dengan perkembangan teknologi. Oleh karena itu, pembahasan mengenai bahasa Indonesia di Sulawesi Utara bukan hanya sebatas kajian bahasa, melainkan juga sebuah upaya peradaban untuk melestarikan identitas nasional.
Jika kita berjalan di jantung Kota Manado pada pagi hari, denyut kehidupan terasa hangat dan penuh warna. Di pasar tradisional, di pelabuhan, hingga di ruang-ruang pertemuan, bahasa daerah begitu akrab terdengar. Sulawesi Utara dikenal sebagai salah satu provinsi yang paling lekat dengan bahasa daerahnya. Menurut catatan Badan Pusat Statistik tahun 2020, sebanyak 91,8 persen masyarakat Sulut masih menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari sehingga menjadikannya wilayah dengan persentase penggunaan bahasa daerah tertinggi di Indonesia. Namun, justru di tengah dominasi bahasa daerah inilah bahasa Indonesia menemukan makna yang mendalam. Ia hadir perlahan sebagai jembatan netral yang merangkul perbedaan, tidak untuk menghapus identitas lokal, melainkan untuk mempersatukan keragaman.
Sulawesi Utara adalah rumah bagi masyarakat multietnis, multibahasa, dan multikepercayaan. Ada Minahasa, Sangir, Talaud, Bolaang Mongondow, Bantik, dan masih banyak lagi yang membentuk mozaik budaya. Keberagaman ini adalah anugerah yang menambah keindahan, tetapi sekaligus membawa tantangan. Di tengah keragaman itu bahasa Indonesia hadir bukan hanya sebagai alat komunikasi, melainkan sebagai simbol persatuan. Meskipun dominasi bahasa daerah masih kuat, penggunaan bahasa Indonesia cenderung meningkat dalam ranah formal seperti pendidikan, pemerintahan, dan kegiatan lintas iman. Di situlah bahasa Indonesia menunjukkan ruang pentingnya, menjadi benang halus yang mengikat kebersamaan dalam satu identitas kebangsaan.
Derasnya arus globalisasi menghadirkan wajah lain dari tantangan tersebut. Bahasa asing, terutama bahasa Inggris, semakin mendominasi sektor pariwisata. Di destinasi populer seperti Bunaken dan Likupang, papan informasi, brosur, hingga percakapan dengan wisatawan lebih sering menggunakan bahasa asing. Di wilayah perbatasan seperti Miangas dan Marore, pengaruh bahasa Tagalog begitu dekat sehingga merembes ke dalam interaksi sehari-hari. Jika keadaan ini tidak diantisipasi, bahasa Indonesia berisiko tersisih di rumahnya sendiri. Pertanyaan besar pun hadir mengenai mampukah bahasa Indonesia tetap berdaulat di tanah multibahasa ini.
Bahasa daerah Sulut sejatinya adalah mutiara yang memperkaya identitas bangsa. Kosakata Minahasa yang ekspresif, Sangir dan Talaud yang lembut, Bolaang Mongondow yang kokoh, hingga Bantik yang unik merupakan warisan berharga. Namun, ada satu hal yang tidak tergantikan, yaitu ketika masyarakat lintas iman berkumpul dalam doa bersama atau berbagai etnis duduk satu meja membicarakan masa depan, bahasa Indonesia yang dipakai. Ia hadir sebagai ruang aman, adil, dan netral. Bahasa Indonesia tidak pernah datang untuk menggantikan bahasa daerah, melainkan untuk merangkul semua dalam satu jati diri kebangsaan.
Menjaga kedaulatan bahasa Indonesia tidak dapat hanya mengandalkan kesadaran. Pendidikan menjadi kunci utama. Pendidikan yang bermutu tidak boleh berhenti pada angka akademis semata, melainkan juga harus membentuk karakter, kreativitas, serta literasi kebahasaan yang kuat. Di ruang kelas, pembelajaran bahasa Indonesia harus dekat dengan kehidupan nyata dan berpijak pada budaya lokal. Bayangkan sebuah kelas di mana siswa tidak hanya membaca dongeng Toar Lumimuut sebagai teks, tetapi juga mendiskusikan nilai keberanian dan cinta tanah air yang terkandung di dalamnya. Atau ketika tradisi Tulude diangkat menjadi bahan ajar narasi, kemudian dibedah bersama untuk menemukan kearifan lokal. Pendidikan semacam ini menjadikan bahasa Indonesia bukan hanya pelajaran wajib, melainkan identitas yang hidup dan bernafas dalam keseharian generasi muda.
Salah satu praktik baik lahir melalui krida kebahasaan bernama Detektif Aksara. Program ini mengajak anak-anak untuk menjadi detektif yang memecahkan teka-teki bahasa. Mereka mencari petunjuk aksara, menyusun potongan kata, hingga menemukan pesan tersembunyi. Kegiatan ini dikemas dengan pendekatan gamifikasi sehingga ruang belajar terasa seperti permainan. Dalam waktu sembilan puluh menit, semangat belajar yang redup bisa kembali menyala. Walaupun peningkatan nilai tidak selalu drastis, ada cahaya baru yang tampak di mata mereka, yaitu antusiasme. Detektif Aksara membuktikan bahwa bahasa Indonesia dapat diajarkan dengan cara yang kreatif, relevan, dan menyenangkan. Ia bukan hanya sekadar kegiatan, melainkan sebuah gerakan kecil yang menyalakan kembali cinta pada bahasa Indonesia.
Kekuatan bahasa tidak hanya terletak pada rangkaian kata yang tersusun rapi, tetapi juga pada bagaimana kata itu ditanamkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ia seperti benih kecil yang jika dirawat dengan cinta, akan tumbuh menjadi pohon peneduh bagi bangsa. Generasi muda hari ini adalah ujung tombak yang menentukan arah tumbuh pohon itu, sebab pada pundak merekalah masa depan bahasa Indonesia bertumpu. Mereka hidup di tengah derasnya arus digitalisasi, di mana kata-kata melesat lebih cepat daripada pikiran, di mana kalimat singkat dalam gawai mampu mengguncang opini publik, dan di mana bahasa dapat menjadi jembatan yang menghubungkan sekaligus tembok yang memisahkan.
Oleh karena itu, pendidikan bermutu harus memastikan bahwa generasi ini mampu memilih kata dengan bijak, baik di ruang nyata maupun di ruang digital. Santun berbahasa tidak boleh dianggap sekadar formalitas belaka, melainkan cerminan akhlak, tanda penghormatan, sekaligus wujud menjaga hati orang lain, bahkan mereka yang tidak pernah kita temui secara langsung. Bahasa adalah wajah kita di hadapan dunia; setiap kata yang keluar, baik diucapkan maupun dituliskan, adalah cermin dari nilai yang kita anut. Maka, membangun kebiasaan berbahasa yang santun sama artinya dengan membangun karakter bangsa yang beradab.
Bahasa Indonesia yang berdaulat tidak akan pernah hadir dengan sendirinya. Ia membutuhkan penjaga, penggerak, dan penghidup. Dari ruang kelas yang sederhana hingga ruang publik yang luas, dari layar gawai yang kecil hingga percakapan tatap muka yang hangat, dari panggung budaya yang megah hingga program sederhana seperti Detektif Aksara, bahasa Indonesia harus terus bergema. Ia perlu hadir bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai roh kebersamaan yang mengikat seluruh lapisan masyarakat.
Bahasa Indonesia juga tidak boleh berdiri sendirian. Ia harus sejajar dengan bahasa daerah yang penuh warna, yang telah lama menjadi fondasi kebudayaan bangsa. Keberadaan bahasa daerah tidak boleh dianggap saingan, melainkan sahabat yang saling menopang. Bersama-sama, bahasa Indonesia dan bahasa daerah membentuk rumah kebahasaan yang kokoh, tempat setiap orang bisa kembali pulang. Dalam rumah itu, bahasa Indonesia adalah dinding yang melindungi, sementara bahasa daerah adalah pondasi yang menguatkan.
Di tengah serbuan bahasa asing yang semakin mendominasi, kokohnya bahasa Indonesia menjadi benteng yang menjaga jati diri bangsa. Kita tidak menolak kehadiran bahasa asing karena ia jendela untuk melihat dunia. Namun, jendela tidak akan pernah bisa menggantikan rumah. Bahasa Indonesia tetap harus menjadi ruang utama tempat kita tumbuh, berakar, dan bernaung. Pendidikan yang bermutu menjadi garda terdepan dalam perjuangan ini, mendidik generasi muda agar tidak hanya cerdas berpikir, tetapi juga bijak berbahasa, agar tidak hanya pandai menulis, tetapi juga santun menyampaikan, agar tidak hanya kritis dalam logika, tetapi juga halus dalam rasa.
Dengan cara itu, bahasa Indonesia akan tetap berdaulat. Ia akan terus hidup dalam ingatan, dalam percakapan, dalam karya, dan dalam hati setiap generasi. Pada akhirnya, menjaga bahasa bukan hanya tentang melestarikan kata, tetapi juga tentang menjaga martabat bangsa. Bahasa Indonesia perlu terus digunakan dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari di berbagai bidang. Di lingkungan pendidikan, bahasa ini berperan penting dalam pembentukan moral, di lingkungan keluarga ia mempererat hubungan antar generasi, dan di dunia digital ia menjadi identitas bangsa di kancah internasional. Penggunaan bahasa Indonesia yang konsisten di semua lini akan memastikan kelestariannya, meskipun ada pengaruh dari budaya asing yang terus masuk.
Bahasa Indonesia perlu terus digunakan dan dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari. Di lingkungan sekolah, bahasa Indonesia berperan penting dalam membentuk karakter, di keluarga mempererat hubungan antar generasi, dan di dunia digital menjadi representasi bangsa di mata internasional. Selain itu, bahasa Indonesia harus dijaga bersama dengan bahasa daerah sebagai warisan leluhur. Keduanya tidak seharusnya saling bersaing karena bahasa daerah merupakan sumber identitas lokal yang memperkaya bahasa persatuan. Contohnya, penggunaan bahasa daerah di rumah dan bahasa Indonesia dalam forum resmi menciptakan harmoni kebahasaan. Harmoni ini menjadikan bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi nasional, melainkan wadah yang menyatukan keberagaman. Dengan demikian, bahasa Indonesia akan semakin kuat sebagai simbol persatuan dan sarana interaksi dengan dunia di era globalisasi.
Kemajuan pendidikan di Sulawesi Utara didorong oleh berbagai terobosan yang bertujuan mengaitkan proses belajar mengajar dengan kearifan lokal. Para pengajar kini tidak hanya berfokus pada penyampaian konsep teoretis, tetapi juga menerapkan praktik langsung yang menjadikan bahasa Indonesia lebih relevan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Kisah-kisah tradisional Minahasa diintegrasikan ke dalam pembelajaran bercerita, dan pemanfaatan teknologi digital dilakukan untuk mengenalkan leksikon bahasa daerah yang selanjutnya disandingkan dengan bahasa Indonesia. Pendekatan inovatif ini membantu siswa memahami bahwa bahasa Indonesia bukanlah pelajaran yang membosankan, melainkan bagian dari jati diri yang berkembang bersama mereka. Kualitas pendidikan di Sulawesi Utara pada akhirnya terletak pada kemampuannya memelihara warisan budaya sekaligus membekali generasi muda untuk sukses di era modern.
Kaum muda Sulawesi Utara saat ini menjadi kekuatan utama dalam meningkatkan minat baca di kalangan masyarakat. Mereka mendirikan berbagai wadah seperti kelompok membaca, perkumpulan penulis, dan forum diskusi di berbagai wilayah. Pemanfaatan media sosial sebagai wadah publikasi karya-karya kreatif seperti puisi, esai, dan cerita tradisional dengan pendekatan modern semakin berkembang. Kegiatan seperti saling bertukar buku di ruang publik atau kompetisi menulis cerita lokal di sekolah menunjukkan bahwa generasi muda tidak hanya menikmati pengetahuan, tetapi juga mampu menghasilkan ide-ide baru. Kontribusi mereka sangat krusial dalam mempertahankan eksistensi literasi agar terus sesuai dengan perkembangan zaman digital. Melalui semangat ini, literasi tidak hanya dipandang sebagai kemampuan membaca dan menulis, melainkan sebagai sebuah aksi sosial yang memupuk kecintaan terhadap bahasa Indonesia.
Kaum muda Sulawesi Utara saat ini menjadi kekuatan utama dalam meningkatkan minat baca di kalangan masyarakat. Mereka mendirikan berbagai wadah seperti kelompok membaca, perkumpulan penulis, dan forum diskusi di berbagai wilayah. Pemanfaatan media sosial sebagai wadah publikasi karya-karya kreatif seperti puisi, esai, dan cerita tradisional dengan pendekatan modern semakin berkembang. Kegiatan seperti saling bertukar buku di ruang publik atau kompetisi menulis cerita lokal di sekolah menunjukkan bahwa generasi muda tidak hanya menikmati pengetahuan, tetapi juga mampu menghasilkan ide-ide baru. Kontribusi mereka sangat krusial dalam mempertahankan eksistensi literasi agar terus sesuai dengan perkembangan zaman digital. Melalui semangat ini, literasi tidak hanya dipandang sebagai kemampuan membaca dan menulis, melainkan sebagai sebuah aksi sosial yang memupuk kecintaan terhadap bahasa Indonesia.
Pelestarian bahasa Indonesia di Sulawesi Utara memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak. Pemerintah perlu memperkokoh aturan terkait penggunaan bahasa Indonesia di tempat umum, khususnya di bidang pendidikan dan pariwisata. Lembaga pendidikan, mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi, hendaknya memasukkan unsur budaya daerah ke dalam kurikulum bahasa Indonesia agar para pelajar merasa memiliki hubungan erat antara bahasa dan jati diri mereka. Kelompok-kelompok yang bergerak di bidang literasi membutuhkan bantuan berupa prasarana, pelatihan, dan ketersediaan buku untuk memperluas jangkauan mereka kepada masyarakat. Di sisi lain, anak-anak muda dituntut untuk terus berkarya dengan memanfaatkan teknologi digital guna menciptakan konten-konten kreatif yang dapat meningkatkan rasa cinta terhadap bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia di Sulawesi Utara bukan sekadar sarana berkomunikasi, melainkan juga cerminan jati diri dan kebanggaan nasional. Pelestarian bahasa ini sangat penting supaya dapat hidup harmonis bersama beragam bahasa daerah, serta mampu bersaing dalam kancah global. Dari ungkapan Nyiur Melambai hingga luasnya Samudra Nusantara, bahasa Indonesia akan senantiasa mengukuhkan persatuan, menghubungkan kebudayaan, dan menegaskan kehormatan bangsa.